Mengenai Saya

Foto saya
ingin melompat lebih tinggi

Sabtu, 25 Desember 2010

organ tubuh kota surabaya? sehatkah?

Terlepas dari polemik tol tengah kota, mari kita ketahui bagaimana penyediaan infrastruktur ini dapat memenuhi indikator keberlanjutan suatu kota. Ada pun indikator-indikator keberlanjutan suatu kota ini meliputi keseimbangan dan keterpaduan dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan. Penyediaan infrastruktur ini harusnya memiliki indikator-indikator keberlanjutan kota. Jadi pada prinsipnya penyediaan infrastruktur tidak bisa dipandang dari sisi ekonominya saja, atau sosialnya saja, atau lingkungannya saja tapi seluruhnya. Oleh karena itulah diperlukannya sebuah langkah konkrit, yaitu manajemen infrastruktur. Manajemen infrastruktur ini merupakan salah satu instrumen pengontrol kota, baik pengontrol kota terhadap peran fungsi makronya; keterkaitannya terhadap wilayah di sekitarnya, maupun peran fungsi mikronya; permasalahan internal kota. Dalam hal ini Kota Surabaya sudah seharusnya mencermati manajemen infrastrukturnya tersebut.
Manajemen infrastruktur perkotaan ini meliputi: pemerataan, grand strategy, dan implementasi pembiayaan. Yang pertama, pemerataan. Pemerataan ini dimaksudkan agar penyediaan infrastruktur kota harus memenuhi kebutuhan kota secara merata, adil dan bijaksana. Ada pernyataan menarik yang mengatakan bahwa penyediaan infrastruktur itu seperti pepatah “ships follow the trip, trip follow the ships”. Seperti di Surabaya, penyediaan infrastruktur jaringan jalannya mengikuti pertumbuhan jumlah kendaraan atau malah pertumbuhan jumlah kendaraannya justru yang mengikuti pertumbuhan jaringan jalannya. Ini harus dicermati secara baik dan tangkas. Yang kedua adalah bagaimana menciptakan grand strategy untuk pembangunan infrastruktur agar para infrastruktur kota dapat saling mendukung satu sama lain dan menguntungkan dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungannya. Strategi besar ini secara umum sebenarnya sudah dituangkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kota dan/atau propinsi, namun sepertinya butuh masterplan khusus agar penyediaan infrastruktur lebih padu dan memenuhi indikator-indikator keberlanjutan kota. Selanjutnya adalah bagaimana implementasi dalam hal pembiayaan pembangunannya dapat efektif dan efisien. Konsep ‘hemat dan optimal’ ini pun dapat dilakukan dengan berbagai strategi; salah satunya dengan cara nonkonvensional, yaitu dengan melibatkan pihak swasta atau biasa disebut kemitraan pemerintah-swasta(atau non pemerintah); seperti kerjasama yang sudah banyak dilakukan; kerjasama dalam hal saham, pengelolaan, atau pembagian kerja dengan pihak investor(dalam maupun luar negeri) dan/atau dengan bank (lokal maupun mancanegara/dunia) dan/atau dengan pihak non pemerintah lainnya.. Semua itu dilakukan agar pemerintah kota tidak sekedar dapat memenuhi kebutuhan publiknya, tapi juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Namun jika berdasarkan pada penekanan pada indikator-indikator keberlanjutan suatu kota maka manajemen infrastruktur tidak hanya berhenti pada sisi keuntungan publik (sosial) nya saja, tetapi juga harus pada sisi keuntungan ekonomi dan keuntungan lingkungannya. Ini (semua) memang sulit, tapi bisa dilakukan.
Namun, sampai saat ini problem utama dalam realisasi pembangunan infrastruktur yang padu dan mendukung nilai-nilai keberlanjutan masih berasal dari sektor kelembagaan. Perbedaan kepentinganlah yang melandasinya. Perbedaan kepentingan ini sebenarnya dapat menghambat pembangunan infrastruktur yang mendukung nilai-nilai keberlanjutan kota.
Perlu diingat, kota bagaikan satu kesatuan suatu tubuh. Aliran darah, tangan, kaki, jantung dan lainnya merupakan para infrastruktur jika disinkronkan dengan sebuah kota. Jika salah satunya digunakan tidak sesuai dengan hakikatnya maka akan terjadi ketidakseimbangan. Jika terjadi ketidakseimbangan maka kota tersebut boleh dikatakan fisiknya sakit. Di lain pihak, pikiran dan hati merupakan cerminan kekompakan berbagai elemen masyarakat di dalamnya. Jika salah satunya tidak sinkron maka suatu kota boleh dikatakan mengalami gangguan pada jiwanya. CMIIW

Selasa, 14 Desember 2010

NananaNana...

Beberapa hari terakhir ini seorang anak manusia, katakanlah namanya kOza, merasakan "hantu" yg paling tidak disukainya namun tetap saja dinikmatinya memasuki kehidupannya. Hantu tersebut adalah rasa malasnya, sesuatu yang membelenggunya sehingga menjadikan ia dalam keadaan diam, stag, dan bodoh.
Dia berusaha keluar dari belenggu yang dia nikmati itu dengan berbagai cara dan usaha yang sebenarnya membuat dia semakin merasa terbelenggu.

KOza, merupakan anak manusia yang sering melakukan hal-hal yang tidak biasa dari orang-orang seperti biasanya. ketika hantu malas (begitu ia menyebutnya) menghinggapinya hingga membelenggunya, dia mengantisipasinya dengan "mengkhayal"; kegiatan yang benar-benar bukanlah solusi yang bagus untuk mengusir si hantu malas itu. kegiatan tersebut, menurutnya bertujuan untuk mengusir si hantu malas agar lenyap ditelan bumi, dan terus tertelan ke dasar dan terbakar di inti bumi hingga ia tak akan pernah kembali lagi. Dan, pada kenyataannya si hantu malas tersebut malah sering kembali.

Baiklah kita akan memasuki khayalan kOza yang sebenarnya merupakan khayalan yang sederhana.

Khayalan kOza adalah menjadi seseorang yang tak terkalahkan, berprestasi dan dapat meraih apa yang diinginkannya. lalu, dia berbicara, berdiskusi dan melakukan gerakan-gerakan dengan sendirinya yang hanya dia yang tau maksud dari tindakan-tindakan anehnya tersebut.. Namun, tindakan-tindakannya itu selesai, dan mengesankan, hal yang diperolehnya hanyalah "lelah". Lalu, karena lelah, ia pun tertidur dan terbangun dengan ingatan kosong akan kegiatan yg dilakukannya sebelum tertidur tadi;seakan tidak terjadi apa-apa, lalu ia pun melanjutkan kehidupannya, dan akhirnya si hantu malas datang lagi, dan ia mengkhayal lagi, dia tertidur lagi dan begitu selanjutnya, selalu sama dan khayalannya pun tak akan pernah menyapa kehidupan nyatanya.

kOza pun terjaga dari kegiatan-kegiatan pengusir hantu malasnya itu, dia jenuh.
lalu dengan kemampuan lahiriyahnya dia mencoba melukiskan perjalanannya; perjalanan bagaimana ia sampai pada keadaannya pada saat itu.

dia mencoba untuk menarik garis dalam perjalanannya itu. Dan ujung garisnya itu pun adalah titik bagaimana ia sedang berada saat ini. lalu, dia menarik garis lagi, jauh menjauhi titik perhentian pertamanya.